Mei 19, 2008

Bayarlah Kesalahan Di Sini, Di Dunia Ini


Kebanyakan kita, tak suka bicara soal kesalahan. Tidak selalu karena kita lebih memiliki kebaikan. Kadang, memang itu alasannya. Tapi tidak selamanya. Kebanyakan kita tak suka bicara kesalahan, sebab ada ambiguitas disana. Kita benci kesalahan, tapi toh kita melakukannya juga. Dalam bentuk beraneka rupa. Kadang kesalahan itu kita jalani dengan sadar. Sesekali batin kita berperang. Tapi kita lantas menyerah kepada keadaan. Seakan kesalahan adalah kekuatan asing di luar diri kita. Padahal kita sendiri pelakunya. Seakan kesalahan itu lebih perkasa dari karunia kehendak yang diberikan Allah dalam jiwa kita. Kita diam, pasrah dan berputar dari lingkaran kesalahan yang satu ke lingkaran kesalahan yang lain. Begitupun kita masih mencoba menghibur diri. Dengan pembenar-pembenar semu.

Layaknya kaca yang bening, kesalahan bagi kehidupan adalah bintik-bintik debu atau tetes-tetes noda, atau bahkan gumpalan-gumpalan kotoran. Maka kesalahan selalu saja mengotori kebeningan, menodai kejernihan dalam dimensinya yang luas. Karenanya, kesalahan harus dibersihkan dan hutang kesalahan itu harus dibayarkan. Begitulah peraturannya.

Sejujurnya, kita akan membayar segala kesalahan itu kelak, suka atau tidak suka. Tetapi membayar kesalahan disini, di dunia ini adalah pilihan orang-orang dewasa. Mereka lebih memilih menjadi pemberani, membayar hutan kesalahan itu disini. Sementara para pengecut dan orang-orang yang berjiwa kekanak-kanakan selalu punya segudang alasan untuk menunda membayar kesalahan. Disini, di dunia inilah sesungguhnya tempat yang paling memungkinkan kita membayar kesalahan. Jangan menunggu kehidupan di akherat kelak, ketika segalanya sudah tidak mungkin lagi. Ketika sangat bagi kita membayar kesalahan itu, kecuali dengan cara yang sangat tidak kita sukai. Sebab disana kita harus membayarnya dengan terpaksa, dengan cara yang tidak enak. Dengan azab dan siksa, kecuali Allah mengampuninya.

Kita mungkin tak suka bicara soal kesalahan. Sebab ada pertarungan disana. Nurani kita yang jujur menginginkan jalan kebaikan. Tetapi hawa nafsu kita yang angkuh menginginkan keburukan. Diambang batas antara kejujuran dan keangkuhan itula dosa dan kesalahan bertarung. Melawan suara hati yang polos dan sejalandengan fitrah. Maka, disni, di dunia ini, bayarlah kesalahan-kesalahan kita. Selagi masih ada nafas. Selagi mata belum terlelap. Sebab toh suka tau tidak suka, kesalahan pada akhirnya akan terbayar juga. Kelak, di hari segala amal ditimbang dan diberi pembalasan seadil-adilnya.
Taken from Tarbawi

Mei 17, 2008

Sepotong Malam untuk Seluruh Kehidupan



Untuk apa malam-malam itu?. Sepertiga akhirnya. Saat Allah turun ke langit bumi. Tentu, untuk beribadah, memohon, mencari kekuatan dalam munajat dan pengharapan. Dalam shalat malam, do'a dan juga istighfar.
Makna Personal. “Menyambut esok hari dengan kesegaran hati.”

Hubungan komunikasi di ujung akhir malam, dengan Allah SWT dalam shalat dan munajat, istighfar dan do'a memberi kekuatan nyata bagi kita dalam menyambut esok hari. Ini mungkin terasa sangat abstrak. Tapi pada dasarnya tidak. Bahkan, ini bisa dibilang wilayah efek yang berbentuk fisik dan material, bahkan sangat personal dari komunikasi dengan Allah di ujung malam. Rasulullah menjelaskan, barangsiapa yang pada malam harinya bangun untuk shalat malam, maka pada pagi harinya, ia akan bangun dalam keadaan penuh semangat, bersih jiwanya, serta telah mendapatkan kebaikan. Sebaliknya, yang tidak melakukan itu, akan mendapati dirinya di pagi hari dalam keadaan malas, kotor jiwanya serta tidak mendapatkan kebaikan.
Hendaklah kalian mengerjakan qiyamul lail, karena itu kebiasaan orang-orang shalih sebelumm kalian, sebab qiyamul lailmendekatkan diri kepada Allah, mencegah dari dosa, menghapus kesalahan-kesalahan dan mengusir penyakit dalam tubuh”(HR. Tirmidzi & Al Hakim).
Disinilah sesungguhnya seorang mukmin mengambil energi untuk pagi harinya, dari sumber yang sangat menyegarkan di ujung malamnya. Secara batin, bahkan secara lahir.

Makna sosial. “Dari sini pertarungan dimulai”.

Pertarungan manusia dengan syetan, memang terjadi sepanjang waktu. Tapi sesungguhnya, di ujung malam itu, sejak itulah pertarungan untuk sebuah hari dimulai. Sebab, ketika kita tidak bisa bangun malam, ia akan kehilangan kesempatan berharga untuk berjumpa dengan Allah, melalui munajat dan do'a. Sebuah ritual yang akan memberi kita puncak kekuatan, kesegaran dan spirit baru bahkan untuk menghadapi kehidupan dunia ini. Rasulullah menjelaskan, “Syetan akan mengikat tengkuk leher setiap orang dari kalian jika ia tidur, dengan tiga ikatan. Syetan menepuk setiap ikatan dengan berkata (kepada orang tersebut), Engkau masih punya malam panjang, karena itu tidurlah” (HR. Bukhari dan Muslim). Lebih jauh Rasulullah menjelaskan, “Jika orang tersebut bangun, lalu menyebut Allah, lepaslah (satu)ikatannya. Jika ia berwudhu, terlepaslah lag ikatan (kedua)nya, jika ia kemudian shalat, maka terlepaslah semua ikatannya “(HR. Bukari dan Muslim).
Sisi kedua ini memberi penekanan pada aspek pertarungan yang pasti akan dihadapi seorang muslim melawan syetan. Terlebih pada perjalanannya di siang hari, mengarungi hidup. Dan itu semua memerlukan bekal. Pada seluruh transaksi hidup kita di siang hari, begitu banyak celah-celah syetan. Pada perdagangan yang kita lakukan, jual atau beli, pada tugas-tugas pekerjaan yang kita jalankan, mengajar, memimpin departemen, mengurus perusahaan, menjaga barang di toko, mengisi soal-soal ujian, mengawasi kekayaan atau titipan orang dan seterusnya, semuanya memiliki seribu satu macam celah untuk disesatkan syetan, bahkan pada detik-detik yang tak pernah kita duga sebelumnya.
Makna spiritual. “ Disana ada kamar, luarnya terlihat dari dalam, dalamnya terlihat dari luar”

Bertemu dengan Allah, di ujung malam, tentu dan pasti, memberi makna lain selain kedua hal diatas. Makna spiritual. Bahkan inilah utamanya. Meski antar satu dan lain tidak bisa dipisahkan. Tapi pada pengertian penghambaan, ia memberi penekanan makna yang lebih mendalam. Pengharapan itu bahkan, melayang jauh nun jauh disana, pada hamparan syurga Allah yang dijanjikan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman .”Sesungguhnya, disyurga itu ada kamar yang sisi luarnya terlihat dari luar. Disediakan untuk mereka yang memberi makan orang-orang yang perlu makan, menyebarkan salam, serta mendirikan shalat pada saat manusia terlelap dalam tidur malam”(HR. Ibnu Hibban)

Di ujung malam itulah benih-benih pengharapan ditanam, disemai dan ditumbuh suburkan. Selain tentu saja, pengharapan akan ampunan, maaf dan penjagaan dari dosa. Disana, di ujung malam itulah kita menjaga stamina harapan. Sebab disana kita belajar mengeja yang tak tampak bagaimana menjadi seperti nyata. Belajar merasa bagaimana yang tak terlihat seperti ada. Tentang akhirat, syurga itu, juga kengerian neraka itu.
Hanya yang rajin berjumpa dengan Allah, saat Ia turun ke langit bumi, yang mata batinnya akan mengalahkan mata kepalanya. Akan selalu terlihat di depan matanya kehidupan nun jauh disana, kampung akhirat yang pasti dan abadi selamanya.ia mungkin memegang sebagin dunia, kesenangannya yang halal,ladangnya, kuda-kuda pilihan, juga wanitanya yang halal. Tapi hatinya tidak ditambat disini, di taman dunia ini. Tapi ia ikatkan di sana, di pengharapan kampung akhirat sana.

Disetiap penghujung malam, pada sepertiga terakhirnya, selalu dan selamanya, Allah menanti hamba-hamba-Nya, yang hendak memohon atau meminta. Sebuah kemurahan dari Dzat Yang Maha Pemurah. Bila pagi mulai bercahaya, bertanyalah setiap kita, adakah peraduan semalam, di hadapan Allah Yang Maha Penyayang?. Ini tak sekedar soal membuka mata, bangun lalu shalat atau bermunajat di malam yang gelap. Lebih dari itu, ini adalah kadar yang bis akita ukur dengan jujur, sejauh mana sesungguhnya daya tahan kita mengarungi hidup, yang sebagian nafasnya harus kita hirup dari ujung malam-malam itu.
Taken From Tarbawi

Mei 16, 2008

Menanti Saat Allah Turun ke Langit Bumi



Seperti gelapnya yang pekat, malam menyimpan begitu banyak rahasia. tidak saja pada taburan bintangnya yang abadi. Tempat sebagian orang menggantung pandangan lepasnya untuk memandu diri mencari arah, di darat dan dilautan. Bukan hanya pada bulannya yang bulat, saat anak-anak menunda tidur. Bertepuk riuh dilorong rumah petak yang kumuh.

Siang hari, memang memberi kita begitu banyak penghidupan (living). Tapi sejujurnya, malamlah yang memberi kita kehidupan (life). Sejumput nasi, seteguk air, selembar ribuan, juga prestise dan cita arasa apa saja, adalah perburuan kemanusiaan kita di siang hari. Dengan begitu kita mendapat penghidupan meski sebagiannya kadang kita buru dengan cara yang kotor.

Nafas kita masih tersambung dengan nasi itu atau air itu, atau status itu - yang riil atau absurb – dengan ijin Allah tentunya. Walau sekali waktu kesulitan datang mencekik, serasa tak membri kita umur lain. Tetapi perjalanan hidup tak akan berhenti di tengah-tengah serialnya. Sebab kematian tak akan datang sebelum cerita diri kita benar-benar usai. Itulah mengapa, Rasulullah menegaskan, bahwa tak akan ada manusia yang mati, kecuali hak-hak rezekinya telah ditunaikan lunas oleh Allah SWT. Ini berlaku untuk siapa saja, kafir atau muslim, fasik atau mukmin.

Tapi, sejujurnya, sekali lagi, malam memberi kita kehidupan. Dalam damainya yang dalam. Atau sunyinya yang tulus. Saat tak ada desah angin dan lambaian dedauanan. Itulah saat terbaik yang dinyatakan Allah untuk beristirahat, “Dialah (Allah) yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya. Dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar (QS. Yunus :67).

Maka, malam adalah tempat kita mengambil segala energi, lahir dan batinnya. Saat semua kepenatan siang tertumpahkan dalam diam, pada malam itu. Saat setiap nyawa menutup mata, malam adalah hiasan, tanda kekuasaan, sekaligus pakaian. “ Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. (QS. An-Naba : 9-11).

Tetapi rahasia malam, bagi orang-orang beriman, tak berhenti pada sumber energi kehidupan lahiriyahnya. Dengan tidur nyenyak atau istirahat panjangnya, rahasia malam adalah rahasia tentang bagaimana sebuah kehidupan mengambil sumber kekuatannya yang benar, orisinil, dan maha dasyat pada sebagian potongan waktunya. Ya, sebab pada setiap sepertiga malam terakhir, Allah SWT turun ke langit bumi. Lalu memberi kesempatan kepada para hamba-Nya, untuk memohon dan mengadu kepada-Nya, dalam kesendirian yang murni, berdua dengan-Nya. “Allah ta'ala turun ke langit bumi, ketika sepertiga malam telah berlalu. Ia berkata, “Akulah Raja, Akulah Raja, siapa yang berdo'a kepadaku Kau kabulkan, siapa meminta kepada-Ku Aku beri, siapa meminta ampun, Aku ampuni. Dia terus berkata demikian sampai sinar fajar merekah”(HR. Muslim).

Disinilah rahasia malam itu. Pada sepertiga terakhir dari setiap potong malam. Itulah kehidupan itu. Adakah kehidupan, yang lebih utama dari memohon kepada Allah lalu diberi, meminta lalu dikabulkan-Nya, serta mengharap ampun lalu diampunkan-Nya?. Pada penghujung malam itulah saat terbaik memburu sumber kehidupan. Dengan shalat, do'a, munajat dan juga istighfar. Pemaknaan malam dari sisi ini memberi kita ruang pengaduan yang sangat luas tanpa batas, tapi dengan kepastian yang sangat terjanjikan. Luas, sebab Allah membuka pengabulan itu tanpa membatasi jenis permintaanya.

Bila malam menjelang. Berdo'alah, agar Allah membangunkan kita pada sepertiga akhirnya, saat turun ke langit bumi. Untuk kita menjumpai-Nya. Sejujurnya, dengan itulah, kita akan bisa merasakan kehidupan dalam arti dan cita rasa yang benar-benar benar.
Taken From Tarbawi

Mei 06, 2008

Biarkan Senyum Kita Menjadi Bahagia Mereka


Setiap muslim memiliki hak yang harus ditunaikan untuk saudaranya. Dalam posisinya sebagai makhluk sosial, berinteraksi dengan sesama tak bisa dikesampingkan. Ada kalanya memberi, dilain waktu kita menerima. Ada saat-saat kita dibuat tersenyum bahagia oleh saudara kita, sebagai imbalannya tentukita ingin membuat orang lain bahagia. Nah, bagaimana sih sebenarnya tips yang mesti dikembangkan agar saudara kita bahagia?

  1. Muka Berseri

    Janganlah sedikit pun kamu menyepelekan kebaikan meski (hanya) dalam bentuk menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri .” (HR. Muslim)

  2. Memberi Nasehat

    Memberi nasehat menjadi bukti perhatian dan kecintaan seseorang kepada orang lain. Karenanya, seseorang tidak bisa melupkan kebaikan saudara yang telah menasehatinya dalam ketaatan kepada Allah SWT. Disitulah makna kebahagiaan dan pertemanan tersa manis.

  3. Memenuhi Undangan

    Memenuhi undangan bisa menambah rasa cinta, kasih sayang dan ketulusan jiwa diantara sesama.

  4. Menjenguk Orang Sakit

    Menjenguk orang sakit merupakan perbuatan yang dapat membahagiakan hati sesama muslim, dapat meringankan beban yang dideritanya dan mengingatkannya untuk tetap bersabar dengan ujian yang sedang dialami.

  5. Tidak Membebani Orang Lain

  6. Membayarkan Hutang

  7. Berdo'a

    Diantara hal yang harus dimiliki setiap muslim adalah rasa peduli kepada sesama dengan selalu mendoakan mereka, baik yang masih hidup maupun mereka yang telah berpulang. Rasulullah SAW bersabda, “ Doanya seorang muslim untuk saudaranya muslim yang lain tanpa sepengetahuannya adalah tidak ditolak “ (HR. Al Bazzar dengan sanad shahih)

Taken From Elfata

April 29, 2008

Kenanglah Saat-Saat Indah Bersama Orang Tua

Di ruas jalan H Mulyadi Joyo Martono No 19, Bekasi Timur, berdiri beberapa gedung milik Departemen Sosial. Sekilas nampak tertata rapi dan bersih. Bangunan itu didominasi warna kuning layu. Entah mengapa, warna itu seakan menggambarkan sebuah usia, bukan usia bangunan itu, tapi usia para penghuninya yang kebanyakan sudah tua. Ya, itu bangunan panti Tan Miyat, tempat para jompo dan tuna netra mengisi hari-hari mereka.

Tetapi sebuah panti jompo tak sekedar labuhan hidup di penghujung usia. Meski kematian tetaplah gelap. Panti itu dan juga panti-panti yang lain, sesungguhnya adalah muara bagi berjuta kenangan.tentang masa lalu yang mulanya liniar, tertib dan bertabur senyum. Tetapi tiba-tiba turun dan menghujam tajam. Atau kenangan tentang pahitnya kehilangan orang-orang terdekat, anak-anak yang tak bisa lagi menerima orang tua mereka yang renta dan tak punya tenaga. Disini seringkali kenangan pahit jauh lebih mengacaukan pikiran ketimbang rasa sakit fisik akibat termakan usia.

Pada setiap golongan waktu ada kenangannya. Meski tidak selamanya istimewa. Seperti Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, setiap kali ia datang, ada begitu banyak kenangan pada berjuta orang. Pada kita, orang tua kita, anak-anak kita, juga pada seorang Atem, wanita tua di panti Tan Miyat itu.

" Sebenarnya saya punya anak. Perempuan. Tapi dia nggak mau mengakui saya sebagai ibunya. Saya nggak tahu dia dimana sekarang", tuturnya lirih. Pandangannya menerawang. Matanya mulai berkaca-kaca. Perempuan asal Cikampek, Jawa Barat, yang biasa dipanggil Bu Atem itu mengisahkan, bahwa anak perempuannya itu telah bersuami dan punya tiga orang anak. Ia merasa dirinya dibiarkan pontang-panting, dari satu tempat berteduh ke tempat yang lain. Tak dipedulikan pula apakah ibunya makan atau tidak,kehujanan atau kepanasan, sehat atau sakit bahkan tidak peduli apakah sekarang masih hidup. "Nggak pernah dia itu cari saya ada dimana, dia nggak tahu saya disini. Boro-boro nengok, tahu aja enggak." ungkapnya datar, seraya melempar pandangan ke pintu kamar yang terbuka lebar.

Lain halnya dengan Hans Huripno. Usianya 53. Belum terlampau tua, tetapi fisiknya telah renta. Ia punya penyakit aneh. Karena sakit itu pula istrinya kemudian meminta cerai. Dari istrinya itu, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Ramadhan yang syahdu, seakan menghamparkan begitu banyak kenangan masa lalunya. Cerita pun mengalir panjang. " Selama bekerja saya sudah merambah hampir seluruh bagian wilayah Indonesia. Sebelum sakit, saya pernah menangani desain pabrik Unilever di Cibitung. Saya dulu makan, kerja dijamin perusahaan, kendaraan serba ada. Pulang ke jawa setiap tiga bulan sekali naik pesawat. Makan disediakan, pakaian dicucikan. Makan serba ala Eropa dan menjelang sholat isya saya selalu refreshing pergi ke Sogo, Sarinah dan serendah-rendahnya show room untuk menghilangkan rasa jenuh," kenang Hans.

Ia melanjutkan, " Istri saya selalu shopping, serendah-rendahnya ke Matahari. Saya ajak anak dan istri saya rekreasi sampai jauh. Hidup serba enak, apalagi ketika baru datang di suatu pekerjaan awal, kita mneginap di hotel dulu minimal dua minggu. Saya dulu pernah merasakan bagaimana rasanya punya mobil sendiri, rumah sendiri. Dan sekarang saya tidak bisa membayangkan harus tinggal di panti. Ya Allah, begini akhirnya hidup saya ". mata Hans nampak berkaca-kaca. Suaranya sejenak tertahan. Dua butir air matanya nyaris jatuh bersamaan.

Sejak enam bulan di panti itu, ia belum memberitahu anaknya, juga mantan istrinya. " Saya ingin menjaga perasaan mereka. Terutama anak saya" jelasnya. Sebab, dulu waktu di Brebes ia juga sudah masuk panti. " Tapi anak saya bilang, malu punya orang tua di panti. Ia bilang kepada ibunya supaya tidak cerita-cerita kepada orang lain perihal saya", tambah Hans. " Saya tahu perasaan anak saya dan menerima ini semua, walaupun hati ini terasa pedih" hibur Hans.
Begitulah,sebagai apa kita hari ini, kenangan-kenangan seperti itu harus memberi kita kesadaran baru, bahwa ada orang-orang yang berjasa terhadap kita. Pada orang tua kita adalah orang-orang terdekat kita, setidaknya secara nasab dan hubungan darah. Bila mereka tidak terlalu berjasa secara materi, setidaknya karena mereka kita ada. Itu bahkan jasa persambungan yang paling prinsipil.

Menjadi anak-anak atau orang tua hanyalah soal pergiliran peran. Bila waktu memadai, ada jatah umur dan takdir berjodoh dengan ikhtiar atau ikhtiar berjodoh dengan takdir, setiap kita toh akan tua juga. Dan itu artinya, kerinduan orang-orang tua kita hari ini, kepada bakti dan balas budi kita, adalah juga kerinduan kita kelak kepada hal serupa kepada anak-anak kita. Maka, kenang, kenanglah orang tua kita. Sebut, sebutlah mereka dalam do'a dan munajat kita. Toh, kelak kita juga akan menjadi tua, bila takdir membawa kita kesana.

Taken From Tarbawi

Maaf Ibu, Kali Ini Aku Tidak Mentaatimu




" Aku orang yang sangat berbakti pada ibuku" kata Saad bin Abi Waqqas. Saad memang dikenal sebagai orang yang sangat hormat dan taat pada ibunya. Hubungan antara ibu dan anak ini membuat banyak orang iri. Sangat harmonis. Penuh kasih sayang.

Hingga suatu hari, Mekkah menjadi saksi keislaman Saad. Ibunya, Hamnah binti Abi Sufyan segera mengetahui keislaman putranya yang dikasihinya itu. Dari sinilah munculnya persoalan. Sang ibu tidak menyetujui perubahan pada anaknya. Ibuya tetap menginginkan Saad pada keyakinan nenek moyangnya.

Sebagai usaha agar Saad mau mengurungkan niatnya, ibunya mengancam, "Kamu tinggalkan agamamu itu atau aku tidak makan dan tidak minum hingga aku mati dan kamu akan dihina manusia sebagai pembunuh ibunya sendiri ".

Pagi itu ibunya benar-benar tidak makan. Hingga malam tiba, tidak sebutir gandum dan setetes air pun yang masuk ke tubuhnya. Saad hanya diam. Pagi hari kedua, ibunya tetap bersiteguh tidak mau makan dan minum. Kondisinya semakin lemah. Malam itu, Saad yang menyaksikan ibunya yang tidak memiliki tenaga, masih tetap diam. Memasuki hari ketiga, ibunya tidak main-main. Dia tetap tidak mau menyentuh makanan dan minuman.

Barulah pada hari berikutnya, Saad menunjukkan sikapnya, "Ibunda, kalu ibu mempunyai seratus nyawa dan nyawa ibu keluar satu persatu,sungguh aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Adapun jika ibu mau, makanlah dan jika ibu lebih memilih tidak mau makan maka silahkan." Melihat kesungguhan Saad, ibunya yang sudah tidak berdaya itu akhirnya mau makan.

Saad, sahabat yang memiliki fisik kuat sehingga mampu beribadah tanpa putus itu, juga mempunyai jiwa teguh dan mampu mengedepankan akal sehatnya. Ia berhasil meletakkan makna cinta dan taat pada ruang yang benar. Bila cinta dan ketaatan kita letakkan diluar ruang itu, akan hilang diterkam kesesatan. Salah meletakkannya berarti membuka peluang untuk datangnya kerugian.

Karena orang tua yang memiliki kedudukan setelah Allah dan Rasul-Nya, tetap manusia. Yang tidak boleh diangkat lebih tinggi dari tempatnya. Yang tidak mungkin berubah menjadi Tuhan yang bisa memaksakan kehendaknya yang keliru. Karenanya jika perintah orang tua sudah menyimpang dari ajaran islam, maka kita tidak boleh menurutinya.

Dari peristiwa Saad inilah kemudian turun ayat, " Dan Kami wajibkan manusia berbuat kebaikan kepada ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatau yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya...............(Al Ankabut :8)

Disinilah letak keadilan islam. Ketika ibadah pada Allah tidak boleh diganggu, tetapi hak orang tua tidak hilang seketika itu. Walau apa yang mereka minta itu sesuatu kesalahan besar, namun orang tua tetap mempunyai kedudukan khusus. Maka tetap saja, dalam soal mu'amalah, Allah berfirman, " Pergaulillah keduanya di dunia dengan baik. " (Luqman : 15)

Taken from Tarbawi

April 28, 2008

Jangan Mau Dijajah Diri Sendiri




Sepotong dosa dan kesalahan adalah penjajah. Sebab sebuah dosa adalah segel di atas catatan malaikat. Mengikat abadi. Membuat kita tidak leluasa. Dosa demi dosa adalah deposit untuk sebuah keputusan pengadilan, kelak di akhirat. Kecuali bila kita bertaubat dan Allah mengampuninya. Rumusan tentang penjajahan oleh diri sendiri dimulai dari rasa bersalah. Legalitas tindakan dan perbuatan kita di mata hukum akan memberi penilaian benar atau salah. Orang salah selalu tidak bisa tenang, itu prinsip dasarnya. Itu sebabnya, Rasulullah menyebutkan dalam hadistnya, " Barang siapa yang amal baiknya membuat hatinya senang dan amal buruknya membuat dirinya sedih, maka dia itu adalah seorang muslim".

Maka segala keputusan untuk memilih salah, berdosa dalam segala bentuknya adalah keputusan untuk menjajah diri sendiri dengan model penjajahan yang sangat aneh. Sebab menjajah diri sendiri pada umumnya membiarkan diri hanyut dibawa hawa nafsu. Sementara sisi-sisi tertentu dari tabiat kita memang menyukai hawa nafsu itu. Maka penjajahan atas diri sendiri pun tampak luarnya terasa menyenangkan, happy, melambungkan perasaan kebebasan atas nama hak asasi. Padahal sejatinya itu semua membelengu. Kebebasan yang merusak, bahkan dengan pembenar-pembenar keyakinan yang keliru.

Peluang penjajahan atas diri sendiri, oleh diri sendiri justru berawal dari kemerdekaan yang kita punya. Dan disitulah rumitnya ujian hidup kita. Kita merdeka, bebas memilih, menjadi orang baik atau orang jahat. Tapi, kemerdekaanya itu sendiri tidak salah. Allah telah mengilhamkan kepada setiap jiwa, jalan kefajiran dan jalan ketakwaan. Pilihan untuk mengambil jalan keburukan, itulah kesalahannya.

Dalam kajian rohani, dosa akan mengotori hati, menumpulkan perasaan, memandulkan kepekaan, menghalangi kita untuk bisa merasakan indahnya kebersamaan bersama Allah. Dosa akan membekaskan di dalam hati kita debu-debu hitam, setitik demi setitik. Setelah itu bila terus berlanjut, hati akan mengeras dan membatu, sementara warna hitamnya semakin kelam. Dan saat itu " Tidak ada jalan bagi kekufuran untuk meninggalkan hati itu, dan tidak ada jalan bagi iman untuk memasuki hati itu " begitu kata Rasulullah.

Tidak ada penderitaan melebihi pahitnya dijajah diri sendiri. terlebih bagi orang-orang yang tidak menyadari. Orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa dosa, kesalahan, jalan hidup kotor, kemalasan adalah penjajahan atas diri sendiri, akan mengalami situasi dimana jiwanya terasa kering dan gersang. Mungkin ia bisa menghibur diri dengan nyanyian bahagia, atau mimpi-mimpi duniawi yang megah. Tapi sejatinya itu tidak menghapus kegalauan. Seperti tangga keimanan yang menapak naik, dosa dan kesalahan pun punya tangga menurunnya. Semakin besar dosa itu, maka semakin menghujam pula ke bawah jurang kehinaan. Maka perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil, tidak semata karena jenis dan bentuknya, tetapi juga karena efek kerusakan yang ditimbulkannya.

Dibatas ini kesadaran punya peran besar dalam mengantarkan kita menjadi manusia merdeka. Ya, kesadaran. Pengakuan paling mendasar dari nurani dan suara hati. Orang-orang beriman bukan berarti tidak pernah salah, atau tak akan berbuat dosa. Bukan. Mereka pernah salah, pernah berdosa, tapi kesadaran yang selalu dijaga nyawa dan nyalanya, telah membuat orang mukmin punya sistim recovery yang handal. Allah mengabarkan, " Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat Allah, maka seketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS.Al A'raf : 20).

Ingat dan sadar. Itu menjadi kunci kemerdekaan jiwa. Sebaliknya, penjajahan atas diri sendiri dengan segala bentuk dosa, bergelimang hawa nafsu, arogansi, kesewenang-wenangan atau juga penindasan, akan semakin leluasa mendapat tempat, manakala kita tidak punya banyak kesempatan untuk ingat. Itu rahasianya mengapa orang-orang yang tidak peduli pada jalan kebaikan, akan selalu menghindar dari suasana sepi. Bila tidur harus diantar oleh dentuman musik. Pulang kerja mencari pelarian ke tempat-tempat ramai, heboh dan penuh guncangan-guncangan nafsu. Sebab, sejenak saja ia punya saat-saat sepi dan sendiri, hati nuraninya akan berontak.

Sebaliknya orang-orang mukmin adalah orang-orang yang merdeka sesungguhnya. Bahkan, kisah seorang Bilal bin Rabah adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Perlawanannya terhadap tuannya bukan soal rasialisme. Setidaknya, dimasa itu dimana perbudakan masih sah. Toh keislamannya tidak menggugurkan hak tuannya dalam soal perbudakkan. Maka perlawanannya adalah perlawanan terhadap segala yang telah mejajahnya yaitu kekufuran dan kemusrikan. Begitu pun kisah Ka'ab bin Malik adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Lelaki yang tertinggal di perang Tabuk, itu benar-benar memilih jalan pembebasan. Pembebasan dari kemunafikan dan tentu saja dari azab Allah yang mengerikan.

Pemisah antara merdeka dan terjajah sangatlah tipis. Pemisahnya ada pada hati kita sendiri. Saat kita memutuskan untuk memilih antara berdosa atau beramal shalih, antara meniti jalan kebaikan atau tenggelam dalam kekufuran. Antara menyerahkan penghambaan kepada Allah atau kepada hawa nafsu. Kemerdekaa sejati adalah kemerdekaan iman. Tak ada yang lebih meredeka dari orang yang beriman. Sebab ia tidak merasa memiliki penjajah. Tidak juga orang lain. Maka kemerdekaan atas iman pun memberi seorang mukmin keberanian yang luar biasa.Ia tidak takut kepada siapapun. Ia bahkan tidak peduli dengan caci maki, bila memang apa yang dilakukannya benar.
Nah, masihkah kita dijajah oleh diri sendiri?.
Taken From Tarbawi

Di Dekat Batu itu Ada Kematian


Lelaki itu telah menjadi seorang ayah. Beberapa anak telah lahir dari rahim istrinya. Dia pun sibuk mengatur rumah tangganya, mencari nafkah, serta mengurus istri dan anak-anaknya. Meski sangat sibuk, ia bisa melakukan semuanya, tanpa beban. Namun satu hal yang setiap hari membuatnya emosi, kesal dan marah-marah; Ayahnya. Ya, ayahnya. Pasalnya, laki-laki yang telah menjadi sebab hadirnya ia di dunia itu, kini telah baerusia senja. Tua renta. Terkadang pula sakit-sakitan. Bagi si lelaki, ayahnya sudah tak bisa memberikan manfaat apa-apa selain merepotkan.

Kian hari rasa kesalnya kepada ayahnya kian bertambah. Ia merasa sudah tak kuat lagi melayani dan berbakti kepada ayahnya itu. Kesabarannya menghadapi si ayah yang kian lemah itu nyaris lenyap ditelan emosi yang selalu memuncak tiap kali menatapnya. Sepertinya sudah tak ada lagi sesuatu yang positif dari kehadiran ayahnya di tengah keluarganya.

Suatu hari, ia pun membawa ayahnya keluar menuju padang pasir untuk maksud yang mungkin tak pernah terkirakan, mengakhiri hidupnya. Sang ayah yang melihat sikap aneh anaknya bertanya, "Wahai anakku, apa yang kamu inginkan dariku?". Anak lelakinya menjawab, "Aku akan membunuhmu" . Anehnya, mendengar anaknya berkata demikian, tak sedikit pun rona kaget tergambar di wajah si ayah. Ia bahkan berkata, "Nak, jika kamu bersikeras ingin membunuhku, maka lakukanlah di samping batu itu" sambil menunjuk ke sebuah batu yang seperti sudah dikenalinya. "Sebelum dirimu, duu aku pun pernah durhaka kepada ayahku, dan aku membunuhnya di dekat batu itu. dan ingatlah wahai anakku, kelak kamu juga akan seperti itu, dibunuh pada batu itu oleh anakmu sendiri" ujar si ayah mengingatkan.

Sebuah kisah tragis yang dicuplik dari kitab Al jaza' min Jinsil Amal di atas , sungguh mengguncang. Di batu itu ada kematian demi kematian. Perlakuan anak kepada orang tuanya. Kemudian anaknya memperlakukan hal yang sama seperti yang pernah ia lakukan terhadap ayahnya. Sebagaimana ia kemudian juga menyumpahi dan mendoakan anaknya bahwa kelak ia pun akan dibunuh anaknya.

Memang tidak semua derita di hari tua seluruhnya karena buah dari perilaku kita di masa muda terhadap orang tua. Tapi didekat batu itu, dimana kematian diperkuat dengan do'a keliru, harapan buruk dan keinginan karma yang hendak "dilestarikan" untuk anaknya. Disini kita belajar tentang arti menjadi muda. Bahwa menjadi muda bukan berarti bisa semena-mena merendahkan yang lansia, terlebih bila mereka adalah orang tua kita.

Berbeda dengan kisah seorang Tabi'in bernama Uwais Al Qarni. Pemuda dari Yaman itu sejak kecil telah menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali ibunya yang telah renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Namun Uwais tetap merawat ibunya. Pagi sore ia mandikan. Siang malam ia sediakan makannya. Ia cucikan pakainnya. Tiap hari bekerja sebagai penggembala kambing untuk mencukupi kehidupan ibunya. Meski upah yang diterimanya hanya cukup menopang kesehariannya bersama sang ibu yang sudah cukup tak bertenaga.

Kesabaran dan kesetiaan Uwais merawat si ibu yang sangat renta itu, menjadikannya begitu dikagumi oleh Rasulullah saw dan para malaikat di langit sana. Bahkan Rasulullah saw sering berpesan kepada para sahabatnya,kelak jika berjumpa dengan Uwais jangan lupa minta didoakan olehnya, karena do'anya yang mustajab di sisi Allah. Prestasi kemuliaan yang demikian istimewa.

Dua kisah di atas mungkin biasa dihadirkan sebagai contoh perilaku anak kepada orang tuanya, antara yang durhaka dan yang berbakti. Namun sesunguhnya, persoalannya bukan sebatas hubungan antara anak dan orang tua. Sebab, pilihan durhaka atau berbakti tidak hanya pada orang tua yang telah lanjut usia. Akan tetapi di sini ada hal lain yaitu bagaimana kita berinteraksi atau bermualah dengan orang-orang yang telah berusia lanjut . Sebab menjadi pelayan dan sahabat mereka memang membutuhkan kesabaran berlipat dari sekedar bergaul dengan orang tua yang belum mencapai usia itu.

Taken from Tarbawi

April 22, 2008

Ketika Kehendak Allah Tak Dapat Kita Pahami


Namanya Urwah bin Zubair. Cucu khalifah pertama ini adalah sosok yang mempunyai banyak keunggulan. Ia merupakan tokoh penting di jaman Tabi'in, generasi terbaik setelah masa kenabian.
Sepanjang hidupnya Urwah selalu memadukan antara ilmu dan munajat kepada Allah. Tak berlebihan, bila kemudian dijamannya ia menjadi satu dari tujuh pilar pakar fikih di Madinah. Munajat dan ibadahnya begitu kuat. Ia selalu bangun malam untuk menghadap Allah. Orang-orang yang hidup dimasanya begitu mengenal Urwah. Bagaimana tidak, orang dikala itu sangat tahu bahwa Urwah memang ahli ilmu, ahli ibadah dan ahli puasa.

Seperti juga lazimnya orang tua, Urwah berharap anak-anaknya kelak bisa melanjutkan tradisi ilmu dan ibadahnya. Terlebih anaknya yang pertama, Muhammad bin Urwah. Ia bahkan ingin anak-anaknya kelak bisa menjadi orang penting di masyarakat, lantaran ilmu yang bermanfaat. Harapan itu tentu tidak berdasarkan pada nafsu gila ketokohan. Tapi ketokohan berbasiskan ilmu dan keahlian.

Urwah, sesosok lelaki mulia itu merangkai harapan-harapannya. Tetapi Allah jua yang menentukan. Disuatu hari yang kering, Urwah datang ke tempat wali kota Madinah, Walid bin Abdul Malik. Tak lupa, anak tertuanya, Muhammad bin Urwah, turut serta dibawanya. Entah mengapa, anak yang belum lagi dewasa itu masuk ke kandang kuda. Anak itu ditendang binatang berkaki empat itu hingga menemui ajalnya. Tak urung Urwah begitu kehilangan atas kepergian anaknya. Meski ia sangat mengerti bagaimana harus bersikap.

Begitupun, pada saat yang bersamaan, ujian lain yang tak kalah besarnya juga datang menimpa dirinya. Kaki sebelah Urwah terserang penyakit ganas. Penyakit yang terus menjalar itu sungguh menyiksa. Tak ada jalan lain kecuali harus dipotong. Mulanya Urwah tak mau kakinya dipotong. Akhirnya di suatu siang yang melelahkan, Urwah yang tengah berpuasa harus merelakan kakinya untuk dipotong. Kawannya, Maslamah bin Muharib, yang melakukan proses amputasi dengan cara yang sangat apa adanya saat itu.

Inilah kisah tragis tentang sebuah harapan yang pupus oleh ketetapan Allah. Kehilangan anak yang kelak diharapkan menjadi orang penting. Juga kehilangan kaki dalam prosesi yang sangat tak terperikan. Kendati begitu Urwah tetaplah Urwah, dengan segudang kemuliaan jiwa dan kebesaran kepribadiannya. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia tak pernah meninggalkan shalat malam, kecuali pada malam ketika kakinya baru saja dipotong itu.

Taken From Tarbawi

Simpul Itu Bernama Mudah-mudahan




Manusia boleh berharap . Tentang apa saja. Tetapi Allah jua yang menentukan dan memberikan. Ini berlaku untuk siapa saja. Betapa pada seluruh pengharapan yang kita upayakan, harus ada ruang yang kita sisakan untuk Allah. Bahwa untuk sebuah keselamatan, kesuksesan, manusia memang harus mengejar jalan kesananya. Tetapi Allah jua yang menentukan.

Hidup memang rangkaian usaha demi usaha, sambungan ikhtiar demi ikhtiar. Tetapi pada ujung usaha dan puncak ikhtiar itu tak langsung berhubungan dengan keberhasilan dan kesuksesan. Ada simpul lain yang berbeda, yang menghubungkan dengan keberhasilan itu. Simpul itu adalah kehendak Allah. Simpul yang tidak diketahui oleh manusia. Simpul itu benar-benar wilayah yang sangat gelap bagi kita semua.

Bila pada simpul usaha kita harus melakukan segala sesuatunya dengan baik, profesional, tertib, penuh semangat, maka pada wilayah yang gelap itu hanya ada satu cara untuk menyikapinya, berdo'a, berharap dan bertawakal kepada Allah. Karenanya ruang gelap itu sangat bisa dilihat pada ekspresi jujur setiap orang, bahwa pada setiap ikhtiar yang diusahakannya, mau tidak mau, ia harus menutup kalkulasi optimisnya dengan kata "semoga atau mudah-mudahan". Persis seperti seorang ibu yang melepas anaknya ke ruang ujian. Ia tahu anaknya telah rajin belajar. Tetapi tak urung ia harus tetap mengatakan, " Mudah-mudahan kamu berhasil, nak."

Inilah simpul mudah-mudahan itu. Ia bukan sekedar soal kebergantungan, tapi juga potongan penting dari mozaik prinsip utama aqidah islam. Orang mukmin yang meyakini Tuhannya hanya Allah, juga harus meyakini bahwa Dia pula yang menentukan umur, rezeki, jodoh dan segala ketetapan lain atas dirinya, termasuk datangnya musibah atau kegagalan. Maka ruang gelap itu lantas mempunyai dua fungsi sekaligus, fungsi ekspektasi dan fungsi rekreasi.

Fungsi ekspektasi adalah fungsi dimana manusia pada akhirnya bergantung kepada Allah, mau tidak mau. Dengan kesadaran akan kebergantungan kepada Allah itu, semestinya manusia lantas memilih jalan hidup yang layak, menata segala upayanya lalu memohon kesuksesan kepada Allah.
Adapun fungsi rekreasi, memberi manfaat lain bagi segala ketetapan Allah, setelah ketetapan itu terjadi. Artinya, bahwa seorang mukmin bisa memaknai segala keputusan Allah, dalam bingkai yang bijak, bahwa dibalik itu, semuanya pasti ada hikmahnya. Bila keputusan itu berupa musibah, ia bisa berharap akan ampunan-Nya. Atau setidaknya, ia bisa menabungnya untuk hari akhirat kelak.
Maka seperti juga Urwah, pada seluruh keputusan Allah yang menimpa dirinya, ia mencoba mencari makna lain, makna rekreatif itu. Segalanya tergambar indah, saat ia melantunkan do'a khusu'nya "Ya Allah, dahulu aku mempunyai empat galah (dua kaki dan dua tangan) lalu Engkau ambil satu. Dan Engkau sisakan tiga. Maka segala puji bagi Engkau. Demi Allah, tidaklah Engkau mengambil, kecuali Engkau pasti juga menyisakan. Maka tak apalah Engkau mengujiku, selama Engkau memaafkan aku".

Taken From Tarbawi