April 29, 2008

Kenanglah Saat-Saat Indah Bersama Orang Tua

Di ruas jalan H Mulyadi Joyo Martono No 19, Bekasi Timur, berdiri beberapa gedung milik Departemen Sosial. Sekilas nampak tertata rapi dan bersih. Bangunan itu didominasi warna kuning layu. Entah mengapa, warna itu seakan menggambarkan sebuah usia, bukan usia bangunan itu, tapi usia para penghuninya yang kebanyakan sudah tua. Ya, itu bangunan panti Tan Miyat, tempat para jompo dan tuna netra mengisi hari-hari mereka.

Tetapi sebuah panti jompo tak sekedar labuhan hidup di penghujung usia. Meski kematian tetaplah gelap. Panti itu dan juga panti-panti yang lain, sesungguhnya adalah muara bagi berjuta kenangan.tentang masa lalu yang mulanya liniar, tertib dan bertabur senyum. Tetapi tiba-tiba turun dan menghujam tajam. Atau kenangan tentang pahitnya kehilangan orang-orang terdekat, anak-anak yang tak bisa lagi menerima orang tua mereka yang renta dan tak punya tenaga. Disini seringkali kenangan pahit jauh lebih mengacaukan pikiran ketimbang rasa sakit fisik akibat termakan usia.

Pada setiap golongan waktu ada kenangannya. Meski tidak selamanya istimewa. Seperti Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, setiap kali ia datang, ada begitu banyak kenangan pada berjuta orang. Pada kita, orang tua kita, anak-anak kita, juga pada seorang Atem, wanita tua di panti Tan Miyat itu.

" Sebenarnya saya punya anak. Perempuan. Tapi dia nggak mau mengakui saya sebagai ibunya. Saya nggak tahu dia dimana sekarang", tuturnya lirih. Pandangannya menerawang. Matanya mulai berkaca-kaca. Perempuan asal Cikampek, Jawa Barat, yang biasa dipanggil Bu Atem itu mengisahkan, bahwa anak perempuannya itu telah bersuami dan punya tiga orang anak. Ia merasa dirinya dibiarkan pontang-panting, dari satu tempat berteduh ke tempat yang lain. Tak dipedulikan pula apakah ibunya makan atau tidak,kehujanan atau kepanasan, sehat atau sakit bahkan tidak peduli apakah sekarang masih hidup. "Nggak pernah dia itu cari saya ada dimana, dia nggak tahu saya disini. Boro-boro nengok, tahu aja enggak." ungkapnya datar, seraya melempar pandangan ke pintu kamar yang terbuka lebar.

Lain halnya dengan Hans Huripno. Usianya 53. Belum terlampau tua, tetapi fisiknya telah renta. Ia punya penyakit aneh. Karena sakit itu pula istrinya kemudian meminta cerai. Dari istrinya itu, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Ramadhan yang syahdu, seakan menghamparkan begitu banyak kenangan masa lalunya. Cerita pun mengalir panjang. " Selama bekerja saya sudah merambah hampir seluruh bagian wilayah Indonesia. Sebelum sakit, saya pernah menangani desain pabrik Unilever di Cibitung. Saya dulu makan, kerja dijamin perusahaan, kendaraan serba ada. Pulang ke jawa setiap tiga bulan sekali naik pesawat. Makan disediakan, pakaian dicucikan. Makan serba ala Eropa dan menjelang sholat isya saya selalu refreshing pergi ke Sogo, Sarinah dan serendah-rendahnya show room untuk menghilangkan rasa jenuh," kenang Hans.

Ia melanjutkan, " Istri saya selalu shopping, serendah-rendahnya ke Matahari. Saya ajak anak dan istri saya rekreasi sampai jauh. Hidup serba enak, apalagi ketika baru datang di suatu pekerjaan awal, kita mneginap di hotel dulu minimal dua minggu. Saya dulu pernah merasakan bagaimana rasanya punya mobil sendiri, rumah sendiri. Dan sekarang saya tidak bisa membayangkan harus tinggal di panti. Ya Allah, begini akhirnya hidup saya ". mata Hans nampak berkaca-kaca. Suaranya sejenak tertahan. Dua butir air matanya nyaris jatuh bersamaan.

Sejak enam bulan di panti itu, ia belum memberitahu anaknya, juga mantan istrinya. " Saya ingin menjaga perasaan mereka. Terutama anak saya" jelasnya. Sebab, dulu waktu di Brebes ia juga sudah masuk panti. " Tapi anak saya bilang, malu punya orang tua di panti. Ia bilang kepada ibunya supaya tidak cerita-cerita kepada orang lain perihal saya", tambah Hans. " Saya tahu perasaan anak saya dan menerima ini semua, walaupun hati ini terasa pedih" hibur Hans.
Begitulah,sebagai apa kita hari ini, kenangan-kenangan seperti itu harus memberi kita kesadaran baru, bahwa ada orang-orang yang berjasa terhadap kita. Pada orang tua kita adalah orang-orang terdekat kita, setidaknya secara nasab dan hubungan darah. Bila mereka tidak terlalu berjasa secara materi, setidaknya karena mereka kita ada. Itu bahkan jasa persambungan yang paling prinsipil.

Menjadi anak-anak atau orang tua hanyalah soal pergiliran peran. Bila waktu memadai, ada jatah umur dan takdir berjodoh dengan ikhtiar atau ikhtiar berjodoh dengan takdir, setiap kita toh akan tua juga. Dan itu artinya, kerinduan orang-orang tua kita hari ini, kepada bakti dan balas budi kita, adalah juga kerinduan kita kelak kepada hal serupa kepada anak-anak kita. Maka, kenang, kenanglah orang tua kita. Sebut, sebutlah mereka dalam do'a dan munajat kita. Toh, kelak kita juga akan menjadi tua, bila takdir membawa kita kesana.

Taken From Tarbawi

Maaf Ibu, Kali Ini Aku Tidak Mentaatimu




" Aku orang yang sangat berbakti pada ibuku" kata Saad bin Abi Waqqas. Saad memang dikenal sebagai orang yang sangat hormat dan taat pada ibunya. Hubungan antara ibu dan anak ini membuat banyak orang iri. Sangat harmonis. Penuh kasih sayang.

Hingga suatu hari, Mekkah menjadi saksi keislaman Saad. Ibunya, Hamnah binti Abi Sufyan segera mengetahui keislaman putranya yang dikasihinya itu. Dari sinilah munculnya persoalan. Sang ibu tidak menyetujui perubahan pada anaknya. Ibuya tetap menginginkan Saad pada keyakinan nenek moyangnya.

Sebagai usaha agar Saad mau mengurungkan niatnya, ibunya mengancam, "Kamu tinggalkan agamamu itu atau aku tidak makan dan tidak minum hingga aku mati dan kamu akan dihina manusia sebagai pembunuh ibunya sendiri ".

Pagi itu ibunya benar-benar tidak makan. Hingga malam tiba, tidak sebutir gandum dan setetes air pun yang masuk ke tubuhnya. Saad hanya diam. Pagi hari kedua, ibunya tetap bersiteguh tidak mau makan dan minum. Kondisinya semakin lemah. Malam itu, Saad yang menyaksikan ibunya yang tidak memiliki tenaga, masih tetap diam. Memasuki hari ketiga, ibunya tidak main-main. Dia tetap tidak mau menyentuh makanan dan minuman.

Barulah pada hari berikutnya, Saad menunjukkan sikapnya, "Ibunda, kalu ibu mempunyai seratus nyawa dan nyawa ibu keluar satu persatu,sungguh aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Adapun jika ibu mau, makanlah dan jika ibu lebih memilih tidak mau makan maka silahkan." Melihat kesungguhan Saad, ibunya yang sudah tidak berdaya itu akhirnya mau makan.

Saad, sahabat yang memiliki fisik kuat sehingga mampu beribadah tanpa putus itu, juga mempunyai jiwa teguh dan mampu mengedepankan akal sehatnya. Ia berhasil meletakkan makna cinta dan taat pada ruang yang benar. Bila cinta dan ketaatan kita letakkan diluar ruang itu, akan hilang diterkam kesesatan. Salah meletakkannya berarti membuka peluang untuk datangnya kerugian.

Karena orang tua yang memiliki kedudukan setelah Allah dan Rasul-Nya, tetap manusia. Yang tidak boleh diangkat lebih tinggi dari tempatnya. Yang tidak mungkin berubah menjadi Tuhan yang bisa memaksakan kehendaknya yang keliru. Karenanya jika perintah orang tua sudah menyimpang dari ajaran islam, maka kita tidak boleh menurutinya.

Dari peristiwa Saad inilah kemudian turun ayat, " Dan Kami wajibkan manusia berbuat kebaikan kepada ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatau yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya...............(Al Ankabut :8)

Disinilah letak keadilan islam. Ketika ibadah pada Allah tidak boleh diganggu, tetapi hak orang tua tidak hilang seketika itu. Walau apa yang mereka minta itu sesuatu kesalahan besar, namun orang tua tetap mempunyai kedudukan khusus. Maka tetap saja, dalam soal mu'amalah, Allah berfirman, " Pergaulillah keduanya di dunia dengan baik. " (Luqman : 15)

Taken from Tarbawi

April 28, 2008

Jangan Mau Dijajah Diri Sendiri




Sepotong dosa dan kesalahan adalah penjajah. Sebab sebuah dosa adalah segel di atas catatan malaikat. Mengikat abadi. Membuat kita tidak leluasa. Dosa demi dosa adalah deposit untuk sebuah keputusan pengadilan, kelak di akhirat. Kecuali bila kita bertaubat dan Allah mengampuninya. Rumusan tentang penjajahan oleh diri sendiri dimulai dari rasa bersalah. Legalitas tindakan dan perbuatan kita di mata hukum akan memberi penilaian benar atau salah. Orang salah selalu tidak bisa tenang, itu prinsip dasarnya. Itu sebabnya, Rasulullah menyebutkan dalam hadistnya, " Barang siapa yang amal baiknya membuat hatinya senang dan amal buruknya membuat dirinya sedih, maka dia itu adalah seorang muslim".

Maka segala keputusan untuk memilih salah, berdosa dalam segala bentuknya adalah keputusan untuk menjajah diri sendiri dengan model penjajahan yang sangat aneh. Sebab menjajah diri sendiri pada umumnya membiarkan diri hanyut dibawa hawa nafsu. Sementara sisi-sisi tertentu dari tabiat kita memang menyukai hawa nafsu itu. Maka penjajahan atas diri sendiri pun tampak luarnya terasa menyenangkan, happy, melambungkan perasaan kebebasan atas nama hak asasi. Padahal sejatinya itu semua membelengu. Kebebasan yang merusak, bahkan dengan pembenar-pembenar keyakinan yang keliru.

Peluang penjajahan atas diri sendiri, oleh diri sendiri justru berawal dari kemerdekaan yang kita punya. Dan disitulah rumitnya ujian hidup kita. Kita merdeka, bebas memilih, menjadi orang baik atau orang jahat. Tapi, kemerdekaanya itu sendiri tidak salah. Allah telah mengilhamkan kepada setiap jiwa, jalan kefajiran dan jalan ketakwaan. Pilihan untuk mengambil jalan keburukan, itulah kesalahannya.

Dalam kajian rohani, dosa akan mengotori hati, menumpulkan perasaan, memandulkan kepekaan, menghalangi kita untuk bisa merasakan indahnya kebersamaan bersama Allah. Dosa akan membekaskan di dalam hati kita debu-debu hitam, setitik demi setitik. Setelah itu bila terus berlanjut, hati akan mengeras dan membatu, sementara warna hitamnya semakin kelam. Dan saat itu " Tidak ada jalan bagi kekufuran untuk meninggalkan hati itu, dan tidak ada jalan bagi iman untuk memasuki hati itu " begitu kata Rasulullah.

Tidak ada penderitaan melebihi pahitnya dijajah diri sendiri. terlebih bagi orang-orang yang tidak menyadari. Orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa dosa, kesalahan, jalan hidup kotor, kemalasan adalah penjajahan atas diri sendiri, akan mengalami situasi dimana jiwanya terasa kering dan gersang. Mungkin ia bisa menghibur diri dengan nyanyian bahagia, atau mimpi-mimpi duniawi yang megah. Tapi sejatinya itu tidak menghapus kegalauan. Seperti tangga keimanan yang menapak naik, dosa dan kesalahan pun punya tangga menurunnya. Semakin besar dosa itu, maka semakin menghujam pula ke bawah jurang kehinaan. Maka perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil, tidak semata karena jenis dan bentuknya, tetapi juga karena efek kerusakan yang ditimbulkannya.

Dibatas ini kesadaran punya peran besar dalam mengantarkan kita menjadi manusia merdeka. Ya, kesadaran. Pengakuan paling mendasar dari nurani dan suara hati. Orang-orang beriman bukan berarti tidak pernah salah, atau tak akan berbuat dosa. Bukan. Mereka pernah salah, pernah berdosa, tapi kesadaran yang selalu dijaga nyawa dan nyalanya, telah membuat orang mukmin punya sistim recovery yang handal. Allah mengabarkan, " Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat Allah, maka seketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS.Al A'raf : 20).

Ingat dan sadar. Itu menjadi kunci kemerdekaan jiwa. Sebaliknya, penjajahan atas diri sendiri dengan segala bentuk dosa, bergelimang hawa nafsu, arogansi, kesewenang-wenangan atau juga penindasan, akan semakin leluasa mendapat tempat, manakala kita tidak punya banyak kesempatan untuk ingat. Itu rahasianya mengapa orang-orang yang tidak peduli pada jalan kebaikan, akan selalu menghindar dari suasana sepi. Bila tidur harus diantar oleh dentuman musik. Pulang kerja mencari pelarian ke tempat-tempat ramai, heboh dan penuh guncangan-guncangan nafsu. Sebab, sejenak saja ia punya saat-saat sepi dan sendiri, hati nuraninya akan berontak.

Sebaliknya orang-orang mukmin adalah orang-orang yang merdeka sesungguhnya. Bahkan, kisah seorang Bilal bin Rabah adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Perlawanannya terhadap tuannya bukan soal rasialisme. Setidaknya, dimasa itu dimana perbudakan masih sah. Toh keislamannya tidak menggugurkan hak tuannya dalam soal perbudakkan. Maka perlawanannya adalah perlawanan terhadap segala yang telah mejajahnya yaitu kekufuran dan kemusrikan. Begitu pun kisah Ka'ab bin Malik adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Lelaki yang tertinggal di perang Tabuk, itu benar-benar memilih jalan pembebasan. Pembebasan dari kemunafikan dan tentu saja dari azab Allah yang mengerikan.

Pemisah antara merdeka dan terjajah sangatlah tipis. Pemisahnya ada pada hati kita sendiri. Saat kita memutuskan untuk memilih antara berdosa atau beramal shalih, antara meniti jalan kebaikan atau tenggelam dalam kekufuran. Antara menyerahkan penghambaan kepada Allah atau kepada hawa nafsu. Kemerdekaa sejati adalah kemerdekaan iman. Tak ada yang lebih meredeka dari orang yang beriman. Sebab ia tidak merasa memiliki penjajah. Tidak juga orang lain. Maka kemerdekaan atas iman pun memberi seorang mukmin keberanian yang luar biasa.Ia tidak takut kepada siapapun. Ia bahkan tidak peduli dengan caci maki, bila memang apa yang dilakukannya benar.
Nah, masihkah kita dijajah oleh diri sendiri?.
Taken From Tarbawi

Di Dekat Batu itu Ada Kematian


Lelaki itu telah menjadi seorang ayah. Beberapa anak telah lahir dari rahim istrinya. Dia pun sibuk mengatur rumah tangganya, mencari nafkah, serta mengurus istri dan anak-anaknya. Meski sangat sibuk, ia bisa melakukan semuanya, tanpa beban. Namun satu hal yang setiap hari membuatnya emosi, kesal dan marah-marah; Ayahnya. Ya, ayahnya. Pasalnya, laki-laki yang telah menjadi sebab hadirnya ia di dunia itu, kini telah baerusia senja. Tua renta. Terkadang pula sakit-sakitan. Bagi si lelaki, ayahnya sudah tak bisa memberikan manfaat apa-apa selain merepotkan.

Kian hari rasa kesalnya kepada ayahnya kian bertambah. Ia merasa sudah tak kuat lagi melayani dan berbakti kepada ayahnya itu. Kesabarannya menghadapi si ayah yang kian lemah itu nyaris lenyap ditelan emosi yang selalu memuncak tiap kali menatapnya. Sepertinya sudah tak ada lagi sesuatu yang positif dari kehadiran ayahnya di tengah keluarganya.

Suatu hari, ia pun membawa ayahnya keluar menuju padang pasir untuk maksud yang mungkin tak pernah terkirakan, mengakhiri hidupnya. Sang ayah yang melihat sikap aneh anaknya bertanya, "Wahai anakku, apa yang kamu inginkan dariku?". Anak lelakinya menjawab, "Aku akan membunuhmu" . Anehnya, mendengar anaknya berkata demikian, tak sedikit pun rona kaget tergambar di wajah si ayah. Ia bahkan berkata, "Nak, jika kamu bersikeras ingin membunuhku, maka lakukanlah di samping batu itu" sambil menunjuk ke sebuah batu yang seperti sudah dikenalinya. "Sebelum dirimu, duu aku pun pernah durhaka kepada ayahku, dan aku membunuhnya di dekat batu itu. dan ingatlah wahai anakku, kelak kamu juga akan seperti itu, dibunuh pada batu itu oleh anakmu sendiri" ujar si ayah mengingatkan.

Sebuah kisah tragis yang dicuplik dari kitab Al jaza' min Jinsil Amal di atas , sungguh mengguncang. Di batu itu ada kematian demi kematian. Perlakuan anak kepada orang tuanya. Kemudian anaknya memperlakukan hal yang sama seperti yang pernah ia lakukan terhadap ayahnya. Sebagaimana ia kemudian juga menyumpahi dan mendoakan anaknya bahwa kelak ia pun akan dibunuh anaknya.

Memang tidak semua derita di hari tua seluruhnya karena buah dari perilaku kita di masa muda terhadap orang tua. Tapi didekat batu itu, dimana kematian diperkuat dengan do'a keliru, harapan buruk dan keinginan karma yang hendak "dilestarikan" untuk anaknya. Disini kita belajar tentang arti menjadi muda. Bahwa menjadi muda bukan berarti bisa semena-mena merendahkan yang lansia, terlebih bila mereka adalah orang tua kita.

Berbeda dengan kisah seorang Tabi'in bernama Uwais Al Qarni. Pemuda dari Yaman itu sejak kecil telah menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali ibunya yang telah renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Namun Uwais tetap merawat ibunya. Pagi sore ia mandikan. Siang malam ia sediakan makannya. Ia cucikan pakainnya. Tiap hari bekerja sebagai penggembala kambing untuk mencukupi kehidupan ibunya. Meski upah yang diterimanya hanya cukup menopang kesehariannya bersama sang ibu yang sudah cukup tak bertenaga.

Kesabaran dan kesetiaan Uwais merawat si ibu yang sangat renta itu, menjadikannya begitu dikagumi oleh Rasulullah saw dan para malaikat di langit sana. Bahkan Rasulullah saw sering berpesan kepada para sahabatnya,kelak jika berjumpa dengan Uwais jangan lupa minta didoakan olehnya, karena do'anya yang mustajab di sisi Allah. Prestasi kemuliaan yang demikian istimewa.

Dua kisah di atas mungkin biasa dihadirkan sebagai contoh perilaku anak kepada orang tuanya, antara yang durhaka dan yang berbakti. Namun sesunguhnya, persoalannya bukan sebatas hubungan antara anak dan orang tua. Sebab, pilihan durhaka atau berbakti tidak hanya pada orang tua yang telah lanjut usia. Akan tetapi di sini ada hal lain yaitu bagaimana kita berinteraksi atau bermualah dengan orang-orang yang telah berusia lanjut . Sebab menjadi pelayan dan sahabat mereka memang membutuhkan kesabaran berlipat dari sekedar bergaul dengan orang tua yang belum mencapai usia itu.

Taken from Tarbawi

April 22, 2008

Ketika Kehendak Allah Tak Dapat Kita Pahami


Namanya Urwah bin Zubair. Cucu khalifah pertama ini adalah sosok yang mempunyai banyak keunggulan. Ia merupakan tokoh penting di jaman Tabi'in, generasi terbaik setelah masa kenabian.
Sepanjang hidupnya Urwah selalu memadukan antara ilmu dan munajat kepada Allah. Tak berlebihan, bila kemudian dijamannya ia menjadi satu dari tujuh pilar pakar fikih di Madinah. Munajat dan ibadahnya begitu kuat. Ia selalu bangun malam untuk menghadap Allah. Orang-orang yang hidup dimasanya begitu mengenal Urwah. Bagaimana tidak, orang dikala itu sangat tahu bahwa Urwah memang ahli ilmu, ahli ibadah dan ahli puasa.

Seperti juga lazimnya orang tua, Urwah berharap anak-anaknya kelak bisa melanjutkan tradisi ilmu dan ibadahnya. Terlebih anaknya yang pertama, Muhammad bin Urwah. Ia bahkan ingin anak-anaknya kelak bisa menjadi orang penting di masyarakat, lantaran ilmu yang bermanfaat. Harapan itu tentu tidak berdasarkan pada nafsu gila ketokohan. Tapi ketokohan berbasiskan ilmu dan keahlian.

Urwah, sesosok lelaki mulia itu merangkai harapan-harapannya. Tetapi Allah jua yang menentukan. Disuatu hari yang kering, Urwah datang ke tempat wali kota Madinah, Walid bin Abdul Malik. Tak lupa, anak tertuanya, Muhammad bin Urwah, turut serta dibawanya. Entah mengapa, anak yang belum lagi dewasa itu masuk ke kandang kuda. Anak itu ditendang binatang berkaki empat itu hingga menemui ajalnya. Tak urung Urwah begitu kehilangan atas kepergian anaknya. Meski ia sangat mengerti bagaimana harus bersikap.

Begitupun, pada saat yang bersamaan, ujian lain yang tak kalah besarnya juga datang menimpa dirinya. Kaki sebelah Urwah terserang penyakit ganas. Penyakit yang terus menjalar itu sungguh menyiksa. Tak ada jalan lain kecuali harus dipotong. Mulanya Urwah tak mau kakinya dipotong. Akhirnya di suatu siang yang melelahkan, Urwah yang tengah berpuasa harus merelakan kakinya untuk dipotong. Kawannya, Maslamah bin Muharib, yang melakukan proses amputasi dengan cara yang sangat apa adanya saat itu.

Inilah kisah tragis tentang sebuah harapan yang pupus oleh ketetapan Allah. Kehilangan anak yang kelak diharapkan menjadi orang penting. Juga kehilangan kaki dalam prosesi yang sangat tak terperikan. Kendati begitu Urwah tetaplah Urwah, dengan segudang kemuliaan jiwa dan kebesaran kepribadiannya. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia tak pernah meninggalkan shalat malam, kecuali pada malam ketika kakinya baru saja dipotong itu.

Taken From Tarbawi

Simpul Itu Bernama Mudah-mudahan




Manusia boleh berharap . Tentang apa saja. Tetapi Allah jua yang menentukan dan memberikan. Ini berlaku untuk siapa saja. Betapa pada seluruh pengharapan yang kita upayakan, harus ada ruang yang kita sisakan untuk Allah. Bahwa untuk sebuah keselamatan, kesuksesan, manusia memang harus mengejar jalan kesananya. Tetapi Allah jua yang menentukan.

Hidup memang rangkaian usaha demi usaha, sambungan ikhtiar demi ikhtiar. Tetapi pada ujung usaha dan puncak ikhtiar itu tak langsung berhubungan dengan keberhasilan dan kesuksesan. Ada simpul lain yang berbeda, yang menghubungkan dengan keberhasilan itu. Simpul itu adalah kehendak Allah. Simpul yang tidak diketahui oleh manusia. Simpul itu benar-benar wilayah yang sangat gelap bagi kita semua.

Bila pada simpul usaha kita harus melakukan segala sesuatunya dengan baik, profesional, tertib, penuh semangat, maka pada wilayah yang gelap itu hanya ada satu cara untuk menyikapinya, berdo'a, berharap dan bertawakal kepada Allah. Karenanya ruang gelap itu sangat bisa dilihat pada ekspresi jujur setiap orang, bahwa pada setiap ikhtiar yang diusahakannya, mau tidak mau, ia harus menutup kalkulasi optimisnya dengan kata "semoga atau mudah-mudahan". Persis seperti seorang ibu yang melepas anaknya ke ruang ujian. Ia tahu anaknya telah rajin belajar. Tetapi tak urung ia harus tetap mengatakan, " Mudah-mudahan kamu berhasil, nak."

Inilah simpul mudah-mudahan itu. Ia bukan sekedar soal kebergantungan, tapi juga potongan penting dari mozaik prinsip utama aqidah islam. Orang mukmin yang meyakini Tuhannya hanya Allah, juga harus meyakini bahwa Dia pula yang menentukan umur, rezeki, jodoh dan segala ketetapan lain atas dirinya, termasuk datangnya musibah atau kegagalan. Maka ruang gelap itu lantas mempunyai dua fungsi sekaligus, fungsi ekspektasi dan fungsi rekreasi.

Fungsi ekspektasi adalah fungsi dimana manusia pada akhirnya bergantung kepada Allah, mau tidak mau. Dengan kesadaran akan kebergantungan kepada Allah itu, semestinya manusia lantas memilih jalan hidup yang layak, menata segala upayanya lalu memohon kesuksesan kepada Allah.
Adapun fungsi rekreasi, memberi manfaat lain bagi segala ketetapan Allah, setelah ketetapan itu terjadi. Artinya, bahwa seorang mukmin bisa memaknai segala keputusan Allah, dalam bingkai yang bijak, bahwa dibalik itu, semuanya pasti ada hikmahnya. Bila keputusan itu berupa musibah, ia bisa berharap akan ampunan-Nya. Atau setidaknya, ia bisa menabungnya untuk hari akhirat kelak.
Maka seperti juga Urwah, pada seluruh keputusan Allah yang menimpa dirinya, ia mencoba mencari makna lain, makna rekreatif itu. Segalanya tergambar indah, saat ia melantunkan do'a khusu'nya "Ya Allah, dahulu aku mempunyai empat galah (dua kaki dan dua tangan) lalu Engkau ambil satu. Dan Engkau sisakan tiga. Maka segala puji bagi Engkau. Demi Allah, tidaklah Engkau mengambil, kecuali Engkau pasti juga menyisakan. Maka tak apalah Engkau mengujiku, selama Engkau memaafkan aku".

Taken From Tarbawi